Well, mulai aja yaah! Jadi gini, sejak 2 minggu yang lalu (12 Februari   2011) waktu saya sama 3 temen lainnya pergi ke ajang Pesta Buku di   Braga, di tambah baca buku “Naked Traveller”, kita jadi pengen   jalan-jalan terus. Heheh. Singkat cerita kita berempat memutuskan untuk   jalan-jalan lagi tanggal 26 Februari 2011. Biar pun ga bisa jalan-jalan   se-borju Trinity yang keliling Indonesia dan 36 negara,  se-engganya  menerobos lebih jauh di kota sendiri itu jadi modal awal,  kota apa lagi  kalau bukan BANDUNG?
Cerita kita mulai dari Alun-Alun Bandung.  Sekitar pukul 15.36 selepas kita solat Ashar, kita langsung cabut. Udah  di jadwal kalo kita bakal ke “Taman Merdeka” di ujung Jl. Baraga sana.  Adventure has begin.  Kucluk-kucluk-kucluk kita jalan menelusuri Jl.  Braga yang jadi  kebanggaan orang-orang Bandung dari jaman Kolonial  sampai Reformasi  sekarang. Jalan ini sempat mengemban julukan "De meest  Europeesche Winkelstraat van Indie" atau Daerah Pertokoan Eropa paling  terkemuka di Hindia. Sambil foto-foto, jepret sana jepret sini,  ketawa-ketiwi, eehh tidak terasa nyampe juga depan Landmark yang ada di  ujung Jl. Braga.
“Nah, katanya dulu gedung ini sering dijadikan tempat Nonie-Nonie Belande kumpul-kumpul.” Jelas Haikal salah satu teman saya.
“Ohhhh, tau darimana? Pernah ikut kongkow-kongkow yah kal?” jawab saya sekenanya.
Setelah  kita berempat nyebrangin rel kereta api, terus sedikit jalan ke utara,  nyampe lah kita di gedung “Bank Indonesia”.  Gedungnya besar, megah,  dengan cat putih polos bergayakan arsitektur  Belanda (sepertinya).  Gedung ini dulunya gudang garam tapi habis  terbakar sekitar tahun  1910-an. Setelah terbakar, lokasi ini beralih  fungsi menjadi tempat  sirkus, orkes musik, dan ajang memamerkan  mobil-mobil terbaru yang  dimiliki dan dibawa oleh para pengusaha  perkebunan di Bandung kala itu.  Baru pada tahun 1931, arsitek Ed Cuypers membangun gedung megah yang  sekarang dinamakan Bank Indonesia itu, dulunya bernama Javasche Bank.  Si  Jebe (Haikal) bilang sih ini Gedung Putih-nya Indonesia. Hahhah.  Agak  lebay, tapi emang kenyataan gedungnya warna putih. Hehheh.
Jalan  lagi ke utara, sampai mentok, ada perempatan, nah di sebalah kanan  perempatan tempat kita berdiri sekarang adalah “Taman Merdeka” yang dilelola Pemerintah Kota Bandung, di  sebrang Barat jalan ada Gereja Protestan (saya lupa nama sekarangnya  apa) yang dibangun oleh arsitek Prof. C.P. Wolff Schoemaker.
Pintu  masuk ke Taman Merdeka ini ada di sebelah Barat, beberapa meter  dari  SMKN 1 Bandung. Kami pun masuk dan segera disuguhkan dengan  pohon-pohon  yang besarnya bukan main. Stand here like show the other side of  Bandung. Dulu taman ini di bangun oleh Dr. R. Teuscher  beserta para  warga Bandung kala itu, pada tahun 1885. Taman yang  pertama kali berdiri  di Kota Bandung. Taman ini didirikan untuk  mengenang jasa Asisten  Residen Pieter Sijthoff yang telah membangun Kota Bandung yang dijuluki  orang kottatje (kota mungil) menjadi kota Modern dan bahkan menjadi  pusat pemukiman Eropa di Hindia Belanda kala itu. Tentunya bukan hanya  Pieter  yang berperan membangun kota Bandung, seluruh warganya pun ikut   membantu membangun dan memajukan kehidupan Kota Bandung. Makanya dulu   Taman ini bernama “Pieters Park” dan baru diganti nama menjadi Taman  Merdeka pada tahun 1925.
Di bagian tengah taman di bangun sebuah  patung badak putih dikelilingi  dengan kolam ikan. Dulunya disekeliling  taman di Bangun kanal-kanal  untuk mengairi taman-taman di Bandung. Untuk  melintasi kanal dibangun  jembatan besi yang melengkung mnyerupai rel  K.A. Karena taman ini taman  terbuka, yah sudah pasti banyak orang yang  datang, termasuk  diantaranya anak-anak, tua, muda, laki, perempuan,  pedagang, pejabat  juga ada. Pejabat? Yah jelas saja karena di sebelah  utara taman tedapat  Gedung Wali Kota Bandung (dulu namanya Kantor  Gemeente Bandung).  Gedungnya meyerupai huruf “n” atau “u”, di bagian  kiri-kanan gedung  terlukis bagaimana kehidupan dan kejamnya pemerintah  Belanda kepada  rakyat Bandung tempo dulu. Ada juga orang-orang yang  entah sedang  berlatih entah sedang apa—mereka meniup terompet (yang  biasa dimainkan  di acara festival musik jazz) di bawah bendera. Wahhhh  KEREEEENNNNNN.  Kita juga sempet main-main sama anak-anak lokal yang lagi  pada main  bola, ada  juga yang bawa-bawa layangan (gue heran gimana  bisa  nerbangin layangan? Orang langitnya aja ditutupin pohon-pohon  segede  raksasa gini), bahkan si Anna sempet bagi-bagi permen. Hahhaha.   Anak-anak nya sedikit ngeselin, tapi gapapa lah namanya juga bocah. Yang   paling inget itu namanya Katong (nama aslinya sih ga tau, tapi kita   panggil dia KAATTTOOONNG), asli Ambon, ga tau dah gimana dia bisa   terdampar di Bandung. Kita seneng “ngalelewe” dia pake logat Ambonnya   yang khas itu. Hahhahaha—jadi ingin ke sana lagi.
Tapi sayang,  kebersihannya kurang di jaga. Padahalkan ini situs sejarah  yang harus  dirawat. Kan tidak semua kota di Indonesia punya taman yang  punya  sejerah unik kaya gini. Ditambah taman ini kan didirikan oleh  seluruh  warga sekitar untuk mengenang jasa Asisten Residen mereka, yah  buat saya  dengan tujuan pembangunan seperti itu berarti para warga  membangunnya  dengan sepenuh hati. Tapi di jaman global sekarang,  ketulusan hati para  pembuatnya dulu seperti tercemar begitu saja oleh  sampah yang bertebaran  dimana-mana di penjuru taman. Seharusnya pihak  pemerintah terutama yang  berada di Gedung Wali Kota, lebih  memperhatikan kebersihannya, yah  minimal bayar orang buat jadi juru  bersih-bersih kek. Saya lihat  anak-anak dan beberapa orang disana  membuang sampah sembarangan seakan  mereka disuruh untuk membuang sampah  sembarangan, tak ada petugas  setempat yang mengawasi dan menegur  mereka. Kita sempet tegur anak-anak  yang buang sampah sembarangan, tapi  mereka ga mau nurut, seolah-olah  membuang sampah sembarangan itu  sebuah keharusan dan merupakan sebuah  pembenaran. Miris memang,  ditengan pohon-pohon yang besar dan suasana  yang seger gini, ternyata  masih ada jiwa yang tega mengotorinya. Semoga  mereka cepat sadar.
Naahh udah cape-cape keliling. Kita  memutuskan untuk kembali ke  Alun-alun untuk solat Maghrib dulu lalu  pulang, kebetulan saat itu  sudah jam 19.22. Dan di Jl. Braga beberapa  meter dari gedung KAA, kita  ketemu sama SETAN GRAFITY yang berhasil  bikin kita ngejerit sambil lari  tunggang langgang. AAAAARRRRGGGHHHHHH.  Cerita yang satu ini kan sudah  di jelasin di posting sebelumnya. hehheh
Referensi:
Kunto, Haryoto. 1985. "Wajah Bandoeng Tempo Doeloe". Bandung: PT. Granesia
 
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus