Senin, 28 Februari 2011

Come Back to The Past of Bandoeng.

Well, mulai aja yaah! Jadi gini, sejak 2 minggu yang lalu (12 Februari 2011) waktu saya sama 3 temen lainnya pergi ke ajang Pesta Buku di Braga, di tambah baca buku “Naked Traveller”, kita jadi pengen jalan-jalan terus. Heheh. Singkat cerita kita berempat memutuskan untuk jalan-jalan lagi tanggal 26 Februari 2011. Biar pun ga bisa jalan-jalan se-borju Trinity yang keliling Indonesia dan 36 negara, se-engganya menerobos lebih jauh di kota sendiri itu jadi modal awal, kota apa lagi kalau bukan BANDUNG?

Cerita kita mulai dari Alun-Alun Bandung. Sekitar pukul 15.36 selepas kita solat Ashar, kita langsung cabut. Udah di jadwal kalo kita bakal ke “Taman Merdeka” di ujung Jl. Baraga sana. Adventure has begin. Kucluk-kucluk-kucluk kita jalan menelusuri Jl. Braga yang jadi kebanggaan orang-orang Bandung dari jaman Kolonial sampai Reformasi sekarang. Jalan ini sempat mengemban julukan "De meest Europeesche Winkelstraat van Indie" atau Daerah Pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia. Sambil foto-foto, jepret sana jepret sini, ketawa-ketiwi, eehh tidak terasa nyampe juga depan Landmark yang ada di ujung Jl. Braga.
“Nah, katanya dulu gedung ini sering dijadikan tempat Nonie-Nonie Belande kumpul-kumpul.” Jelas Haikal salah satu teman saya.
“Ohhhh, tau darimana? Pernah ikut kongkow-kongkow yah kal?” jawab saya sekenanya.

Setelah kita berempat nyebrangin rel kereta api, terus sedikit jalan ke utara, nyampe lah kita di gedung “Bank Indonesia”. Gedungnya besar, megah, dengan cat putih polos bergayakan arsitektur Belanda (sepertinya). Gedung ini dulunya gudang garam tapi habis terbakar sekitar tahun 1910-an. Setelah terbakar, lokasi ini beralih fungsi menjadi tempat sirkus, orkes musik, dan ajang memamerkan mobil-mobil terbaru yang dimiliki dan dibawa oleh para pengusaha perkebunan di Bandung kala itu. Baru pada tahun 1931, arsitek Ed Cuypers membangun gedung megah yang sekarang dinamakan Bank Indonesia itu, dulunya bernama Javasche Bank. Si Jebe (Haikal) bilang sih ini Gedung Putih-nya Indonesia. Hahhah. Agak lebay, tapi emang kenyataan gedungnya warna putih. Hehheh.

Jalan lagi ke utara, sampai mentok, ada perempatan, nah di sebalah kanan perempatan tempat kita berdiri sekarang adalah “Taman Merdeka” yang dilelola Pemerintah Kota Bandung, di sebrang Barat jalan ada Gereja Protestan (saya lupa nama sekarangnya apa) yang dibangun oleh arsitek Prof. C.P. Wolff Schoemaker.

Pintu masuk ke Taman Merdeka ini ada di sebelah Barat, beberapa meter dari SMKN 1 Bandung. Kami pun masuk dan segera disuguhkan dengan pohon-pohon yang besarnya bukan main. Stand here like show the other side of Bandung. Dulu taman ini di bangun oleh Dr. R. Teuscher beserta para warga Bandung kala itu, pada tahun 1885. Taman yang pertama kali berdiri di Kota Bandung. Taman ini didirikan untuk mengenang jasa Asisten Residen Pieter Sijthoff yang telah membangun Kota Bandung yang dijuluki orang kottatje (kota mungil) menjadi kota Modern dan bahkan menjadi pusat pemukiman Eropa di Hindia Belanda kala itu. Tentunya bukan hanya Pieter yang berperan membangun kota Bandung, seluruh warganya pun ikut membantu membangun dan memajukan kehidupan Kota Bandung. Makanya dulu Taman ini bernama “Pieters Park” dan baru diganti nama menjadi Taman Merdeka pada tahun 1925.

Di bagian tengah taman di bangun sebuah patung badak putih dikelilingi dengan kolam ikan. Dulunya disekeliling taman di Bangun kanal-kanal untuk mengairi taman-taman di Bandung. Untuk melintasi kanal dibangun jembatan besi yang melengkung mnyerupai rel K.A. Karena taman ini taman terbuka, yah sudah pasti banyak orang yang datang, termasuk diantaranya anak-anak, tua, muda, laki, perempuan, pedagang, pejabat juga ada. Pejabat? Yah jelas saja karena di sebelah utara taman tedapat Gedung Wali Kota Bandung (dulu namanya Kantor Gemeente Bandung). Gedungnya meyerupai huruf “n” atau “u”, di bagian kiri-kanan gedung terlukis bagaimana kehidupan dan kejamnya pemerintah Belanda kepada rakyat Bandung tempo dulu. Ada juga orang-orang yang entah sedang berlatih entah sedang apa—mereka meniup terompet (yang biasa dimainkan di acara festival musik jazz) di bawah bendera. Wahhhh KEREEEENNNNNN. Kita juga sempet main-main sama anak-anak lokal yang lagi pada main bola, ada juga yang bawa-bawa layangan (gue heran gimana bisa nerbangin layangan? Orang langitnya aja ditutupin pohon-pohon segede raksasa gini), bahkan si Anna sempet bagi-bagi permen. Hahhaha. Anak-anak nya sedikit ngeselin, tapi gapapa lah namanya juga bocah. Yang paling inget itu namanya Katong (nama aslinya sih ga tau, tapi kita panggil dia KAATTTOOONNG), asli Ambon, ga tau dah gimana dia bisa terdampar di Bandung. Kita seneng “ngalelewe” dia pake logat Ambonnya yang khas itu. Hahhahaha—jadi ingin ke sana lagi.

Tapi sayang, kebersihannya kurang di jaga. Padahalkan ini situs sejarah yang harus dirawat. Kan tidak semua kota di Indonesia punya taman yang punya sejerah unik kaya gini. Ditambah taman ini kan didirikan oleh seluruh warga sekitar untuk mengenang jasa Asisten Residen mereka, yah buat saya dengan tujuan pembangunan seperti itu berarti para warga membangunnya dengan sepenuh hati. Tapi di jaman global sekarang, ketulusan hati para pembuatnya dulu seperti tercemar begitu saja oleh sampah yang bertebaran dimana-mana di penjuru taman. Seharusnya pihak pemerintah terutama yang berada di Gedung Wali Kota, lebih memperhatikan kebersihannya, yah minimal bayar orang buat jadi juru bersih-bersih kek. Saya lihat anak-anak dan beberapa orang disana membuang sampah sembarangan seakan mereka disuruh untuk membuang sampah sembarangan, tak ada petugas setempat yang mengawasi dan menegur mereka. Kita sempet tegur anak-anak yang buang sampah sembarangan, tapi mereka ga mau nurut, seolah-olah membuang sampah sembarangan itu sebuah keharusan dan merupakan sebuah pembenaran. Miris memang, ditengan pohon-pohon yang besar dan suasana yang seger gini, ternyata masih ada jiwa yang tega mengotorinya. Semoga mereka cepat sadar.

Naahh udah cape-cape keliling. Kita memutuskan untuk kembali ke Alun-alun untuk solat Maghrib dulu lalu pulang, kebetulan saat itu sudah jam 19.22. Dan di Jl. Braga beberapa meter dari gedung KAA, kita ketemu sama SETAN GRAFITY yang berhasil bikin kita ngejerit sambil lari tunggang langgang. AAAAARRRRGGGHHHHHH. Cerita yang satu ini kan sudah di jelasin di posting sebelumnya. hehheh


Referensi:
Kunto, Haryoto. 1985. "Wajah Bandoeng Tempo Doeloe". Bandung: PT. Granesia

1 komentar: